REFLEKSI KALIMAT PERTAMA: REFLEKSI DASAR KONSTITUSI FIC

REFLEKSI KALIMAT PERTAMA:  REFLEKSI DASAR KONSTITUSI FIC

Kalimat pertama Refleksi Dasar Konstitusi FIC berbunyi: “Kita percaya akan panggilan kita untuk membentuk suatu persekutuan kerasulan dan persaudaraan religius.”

 

Kalimat pertama Refleksi Dasar Konstitusi ini bukan sekadar pernyataan, melainkan sebuah komitmen iman yang menegaskan arah hidup religius sebagai Bruder FIC/Kongregasi FIC yaitu: membangun persekutuan yang berakar pada kerasulan (pengutusan) dan persaudaraan (kebersamaan).

 

Kalimat ini menegaskan bahwa hidup religius bukan sekadar pilihan pribadi, melainkan jawaban atas panggilan Allah untuk membangun kebersamaan yang berbuah dalam karya kerasulan.

 

Rujukan Injil yang bisa mencerahi kalimat pertama Refleksi Dasar Konstitusi misalnya:

  • Yohanes 17:21: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau.” → Persatuan adalah dasar persekutuan religius, mencerminkan kesatuan Tritunggal.
  • Kisah Para Rasul 4:32: “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa.” → Persekutuan kerasulan pertama menjadi teladan hidup bersama yang penuh kasih dan solidaritas.

Dari kalimat pertama Refleksi Dasar Konstitusi itu kita dapat mengenal gagasan teologi dari hidup religius kita. Dalam teologi hidup religius, komunitas dipandang sebagai ikon Kerajaan Allah. Hidup bersama bukan sekadar strategi praktis, melainkan tanda profetis bahwa kasih Allah mampu mempersatukan manusia yang berbeda.

  • Communio: persekutuan yang berakar pada Ekaristi dan doa bersama.
  • Missio: pengutusan untuk mewartakan Injil melalui karya nyata.
  • Testimonium: kesaksian hidup yang menampakkan wajah Kristus dalam kebersamaan.

Hidup religius bukan hanya soal doa pribadi, tetapi juga kesaksian bersama yang menampakkan wajah Allah dalam kebersamaan. Hidup religius adalah tanda eskatologis: komunitas religius menjadi saksi akan Kerajaan Allah yang sudah hadir tetapi belum sepenuhnya terwujud. Persaudaraan religius adalah “ikon” dari kasih Allah yang mempersatukan.

 

Gagasan tentang hidup yang dibentuk dan dibangun dalam persekutuan juga pernah dipikirkan oleh beberapa filsuf, misalnya Aristoteles dan Martin Buber.

  • Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politikon, makhluk yang hanya dapat berkembang dalam komunitas. Hidup religius menegaskan kodrat sosial ini dalam terang iman.
  • Emmanuel Levinas menambahkan bahwa wajah sesama mengundang tanggung jawab etis, membuka ruang bagi kasih dan solidaritas. Dalam terang Injil, hidup bersama dalam komunitas religius bukan sekadar pilihan praktis, melainkan panggilan kerasulan: menjadi saksi kasih Allah yang hidup dan nyata.
  • Martin Buber menekankan relasi Aku-Engkau: manusia menemukan dirinya dalam perjumpaan dengan sesama. Hidup religius menjadi ruang perjumpaan yang mendalam, di mana sesama dilihat sebagai “Engkau” yang menghadirkan Allah. Hidup religius adalah ruang di mana relasi ini diperdalam dalam terang iman.

Kita juga dapat memperkaya konsep yang tersirat dari kalimat pertama Refleksi Dasar Konstitusi dengan beberapa gagasan sosiologi. Sosiologi komunitas menegaskan bahwa identitas seseorang dibentuk dalam interaksi sosial. Seorang Bruder FIC dibentuk bukan hanya oleh doa pribadi, tetapi juga oleh dinamika komunitas dimana ia tinggal yang membentuk pola pikir, sikap, dan cara bersaksi.

 

Sosiolog Émile Durkheim melihat agama sebagai kekuatan kolektif yang mempererat solidaritas sosial. Dalam komunitas religius masa kini—seperti komunitas Taizé di Prancis, dan sesungguhnya dalam komunitas-komunitas kita saat ini—hidup bersama menjadi medan pembentukan karakter, spiritualitas, dan kesaksian. Di Taizé, para bruder dari berbagai bangsa hidup dalam kesederhanaan, doa bersama, dan pelayanan kepada kaum muda. Persaudaraan mereka melampaui sekat budaya, menjadi tanda nyata rekonsiliasi dan kasih Allah.

 

Beberapa gagasan sosiologis yang bisa memperkaya kita misalnya terkait:

  • Solidaritas sosial: kebersamaan memperkuat rasa memiliki.
  • Pengelolaan konflik: perbedaan pandangan adalah keniscayaan, tetapi dapat menjadi sarana pertumbuhan.
  • Kebudayaan bersama: nilai, tradisi, dan simbol komunitas membentuk karakter religius yang khas.

Hidup bersama menuntut keterampilan sosial: komunikasi, empati, dan kemampuan mengelola konflik. Tanpa itu, persekutuan mudah rapuh.

 

Hidup bersama bukan tanpa tantangan. Perbedaan latar belakang, karakter, dan visi pribadi sering kali menjadi sumber gesekan. Namun, justru dalam proses saling memahami dan mengampuni, komunitas religius mengalami transformasi. Martin Buber, filsuf dialogis, menekankan pentingnya relasi “Aku-Engkau” sebagai ruang perjumpaan dengan yang Ilahi. Dalam komunitas, relasi ini menjadi nyata: Allah hadir dalam wajah sesama.

 

Dengan demikian, hidup bersama adalah rahmat yang membentuk dan mengutus. Ia bukan hanya syarat struktural, tetapi medan spiritual yang memperlihatkan bahwa kasih Allah bukan ide abstrak, melainkan pengalaman konkret yang mengubah dunia melalui persekutuan kerasulan dan persaudaraan religius.

 

Apa tantangan saat ini yang bisa kita alami untuk mewujudkan hikmat dari kalimat pertama Refleksi Dasar Konstitusi kita?